Selasa, 28 Juli 2009

RUU BHP


Oleh : MUDAWAR*

Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan BHP akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna DPR Desember 2008 lalu. Meskipun sebagian besar mahasiswa melayangkan protes, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut.
Hal yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Membuat liberalisasi pendidikan, karena lembaga pendidikan diminta mandiri dan bertentangan dengan UUD, karena di BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Siswa miskin akan semakin terbatasi. Aturan BHP juga memberikan keleluasaan kapitalisasi perguruan tinggi.
Keberadaan undang-undang tersebut juga tidak sesuai dengan tri darma perguruan tinggi karena akan bersifat komersil dan tidak terjangkau masyarakat yang tidak mampu. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Pendidikan merupakan hak setiap warganegara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung pada suatu negara.
Paradigma baru dalam bidang pendidikan ini, seperti sebuah gagasan yang mulia tetapi dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisai pendidikan. Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal.
Maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Kekhawatiran banyak pihak, UU BHP akan lebih kejam dari pada bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah berlaku sekarang pada UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU dan Unair. BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan perluasan dari status BHMN yang nantinya akan diterapkan pada PT lainnya, bahkan pada pendidikan dasar dan menengah.
Tujuanya adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga puluhan juta.
Kalau dilihat secara detail, RUU BHP yang telah disahkan menjadi UU berdasarkan pada UUD 1945, UU Sisdiknas pasal 3, UU Sisdiknas pasal 4 ayat 1, UU Sisdiknas pasal 10 dan 11, dan PP No. 60 Tahun 1999 dan menimbang draft RUU BHP per 1 Desember 2008, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu ditinjau ulang.
Diantaranya, reduksi peran pemerintah dalam pendanaan BHP. Pada pasal 41 RUU BHP yang mengatur mengenai pendanaan institusi pendidikan berbentuk BHP, terdapat beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan tersebut, baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi (ayat 4, 6, 7 dan 9). Ketidakjelasan ini berupa proporsi pemerintah dan BHPP yang belum eksplisit ditentukan serta bagaimana BHPP memenuhi sisa biaya di luar tanggung jawab pemerintah. Ketidakjelasan ini merupakan hal yang krusial karena kaitannya dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan keberlangsungan pengelolaan pendidikan itu sendiri.
Otonomisasi kurikulum yang tidak jelas dalam BHP. Pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran.
Sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum? Misalnya pada pasal 19 ayat 2 dan 3, bagaimana dampak dari 2/3 pemegang kebijakan justru di luar dari kalangan akademisi yang memahami secara detail dan mendasar mengenai keberjalanan sebuah proses pendidikan?
Superioritas pada organ representasi pemangku kepentingan. BHP menempatkan Organ representasi pemangku kepentingan sebagai organ tertinggi yang memiliki akses dan kewenangan yang penuh dan terdapat berbagai kekurangan. Wewenang Organ representasi pemangku kepentingan dalam mengambil berbagai kebijakan misalnya AD/ART, memberhentikan rektor, hingga control audit (Pasal 22). Kebijakan ini janggal mempertimbangkan adanya dewan audit di bawah organ representasi pemangku kepentingan ini. Bukankah jika memang BHP mengusung prinsip transparansi dan akuntabilitas (pasal 4), seharusnya dewan audit bersifat independen.
Pada pasal 23, yaitu internal BHPP (wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan ) maksimal 1/3 dari organ tertinggi sedangkan 2/3 sisanya terdiri dari pemerintah dan masyarakat yang belum jelas proporsinya. Secara implisit, kontrol pemerintah pun menjadi minimalis.
Pasal 18 ayat 6 : Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi badan hukum pendidikan adalah institusi yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan bukan porsi akademisi yang diperbanyak?
Analog BHP dengan perusahaan. Bentuk BHP memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang diantaranya disebabkan adanya pailit (pasal 57). Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan tak ubahnya dengan perusahaan pada umumnya uaitu ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.
Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara.
Perlu dicatat bahwa sejauh ini belum dilakukan analisis fisibilitas dan analisis kemampuan dalam pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi objek dari BHP ini.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Uneversitas Bung Hatta Padang, Wartawan Koran Transaksi Jakarta, Reporter www.padangmedia.com dan Wakil Ketua LSM JAMAK (Jaringan Anti Manipulasi dan Anti Korupsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda