Kamis, 30 Juli 2009

Dicari : NURDIN M TOP


BAGI PARA ALUMNI YANG PERNAH BERTEMU DENGAN WAJAH TERSEBUT DIATAS MOHON DIHUBUNGI POLISI DI NO. 112. Trims...

Teman Sialan...

Bupati Padang Pariaman Bersama Kajati Sumbar Resmikan Kantin Kejujuran


Tanpa Kejujuran, Praktik KKN Akan Tetap Subur

Padang Pariaman, Transaksi.
Rabu (29/07) Bupati Padang Pariaman Drs.H. Muslim Kasim Ak, MM bersama Kepala Kejaksaan Tinggi Propinsi Sumatera Barat, Syafril Rustam, SH, dan Ketua Karang Taruna Nasional, DR. Dedi Susanto meresmikan kantin kejujuran di SMA 1 2x11 Enam Lingkung dan SD Istiqamah Sicincin Padang Pariaman.
Dalam sambutannya Muslim Kasim mengatakan, program kantin kejujuran yang di buat oleh Kejaksaan Agung merupakan salah satu program yang cukup memberikan pelajaran berharga bagi para penerus bangsa untuk tetap mempertahankan kejujuran yang menjadi tonggak utama dari kehidupan sebuah bangsa dan negara.
“Kegiatan kantin kejujuran ini memiliki konsep yang sederhana namun menyimpan makna yang besar, dimana di kantin kejujuran tersebut akan berlaku transaksi jual beli tanpa pengawasan ekstra. Tidak hanya sekolah saja tetapi beberapa tempat umum atau instansi juga bisa di terapkan,” katanya.
Kantin kejujuran merupakan upaya untuk mendidik akhlak siswa agar berperilaku jujur. Kantin kejujuran adalah kantin yang menjual makanan kecil dan minuman. Kantin kejujuran tidak memiliki penjual dan tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam kantin. Dalam kantin tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman.
Tanpa kejujuran, praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk manipulasi lainnya akan tetap subur di negeri ini. Untuk itu, kantin kejujuran yang merupakan pendidikan Antikorupsi perlu diterapkan sebagai upaya prepentif bagi generasi muda.
Pemberantasan korupsi tidak akan berhasil selama tak ada peran serta seluruh masyarakat, termasuk siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apabila kejujuran sudah diterapkan sejak dini, diharapkan akan dapat menyukseskan pemberantasan korupsi pada masa yang akan datang.
Kantin Kejujuran ini juga menjadi ajang pembelajaran bagi peserta didik di sekolah maupun generasi muda tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, lingkungan, hingga bangsa dan negara. Jika praktik kejujuran ini mulai dapat diterapkan pada pelajar, maka diharapkan mereka akan menjadi penerus bangsa yang jujur untuk memajukan bangsa ini.
Tugas guru tidak hanya mengajarkan materi, tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk membentuk kepribadian (akhlak) peserta didik yang sempurna. Selain itu, orangtua juga perlu memberikan motivasi dan pembinaan anak-anaknya agar selalu berperilaku jujur di sekolah, di rumah, maupun di lingkungan masyarakat.
Dengan adanya kerja sama yang baik antara orangtua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat lnsya’ Allah kita akan mampu mendidik generasi muda berperilaku jujur dan berakhlak mulia sebagai modal utama untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi bebas dari korupsi. Semua ini dilakukan dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang mengedepankan kejujuran karena sumber daya yang beradab dan terdidik sebagai asset global.
“Kami mohon kepada Bapak Kajati Sumbar dan Bapak Ketua Karang Taruna Nasional, pada peresmian kantin kejujuran yang ke-10.000 nantinya, agar diselenggarakan di Daerah Kabupaten Padang Pariaman. Kami siap menjadi tuan rumah dalam peresmian kantin kejujuran yang ke 10.000 tersebut, kami mohon kesediaan Bapak Kajati untuk mengundang Bapak Jaksa Agung RI ke Kabupaten Padang Pariaman untuk meresmikannya,” harap bupati Muslim Kasim. (Mudawar)

Teks foto : Bupati Muslim Kasim yang didampingi Kepala Kejaksaan Tinggi Propinsi Sumatera Barat, Syafril Rustam, SH saat meresmikan kantin kejujuran di SMA 1 2x11 Enam Lingkung, Sicincin Padang Pariaman.(Mudawar)

Rabu, 29 Juli 2009

Padang Pariaman Raih Opini WTP TA 2008 Pertama Di Indonesia


padangmedia.com – PADANG PARIAMAN
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumatera Barat, Drs.H. Maulana Ginting, M.Si menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan daerah tahun anggaran 2008 kepada DPRD Kabupaten Padang Pariaman di gedung DPRD Rabu, 29 Juni 2009.
Rapat paripurna istimewa tersebut dilaksanakan dalam rangka menyampaikan LHP-LKPD Kabupaten Padang Pariaman tahun anggaran 2008.
Menurut Ketua BPK RI Perwakilan Sumatera Barat, Drs.H. Maulana Ginting, M.Si dalam jumpa persnya menyampaikan, Kabupaten Padang Pariaman mendapat peringkat Unqualified Opinion atau penghargaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang pertama di Propinsi Sumatera Barat.
“Di Indonesia, Kabupaten padang Pariaman meraih peringkat lima sesudah Kabupaten Gorontalo, Kota Banjar, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Aceh Tengah” terang Maulana.
Laporan ini merupakan hasil dari proses pemerikasaan yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan pemeriksaan dan pelaporan yang dilaksanakan oleh BPK dan berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Daerah (SPKN) yang telah ditetapkan dalam kode etik BPk dan dilakukan secara independen, obyektif dan profesional, tambahnya.
Tampak hadir dalam rapat tersebut Bupati Padang Pariaman, Drs.H. Muslim Kasim, Ak.MM, Wakil Bupati Padang Pariaman, Drs.H. Ali Mukhni, Ketua DPRD, Yulius Danil, Muspida dan seluruh SKPD dijajaran Pemkab Padang Pariaman. (war)

Selasa, 28 Juli 2009

RUU BHP


Oleh : MUDAWAR*

Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan BHP akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang pada Sidang Paripurna DPR Desember 2008 lalu. Meskipun sebagian besar mahasiswa melayangkan protes, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut.
Hal yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Membuat liberalisasi pendidikan, karena lembaga pendidikan diminta mandiri dan bertentangan dengan UUD, karena di BHP disebutkan masyarakat ikut menanggung biaya pendidikan. Siswa miskin akan semakin terbatasi. Aturan BHP juga memberikan keleluasaan kapitalisasi perguruan tinggi.
Keberadaan undang-undang tersebut juga tidak sesuai dengan tri darma perguruan tinggi karena akan bersifat komersil dan tidak terjangkau masyarakat yang tidak mampu. Padahal, pendidikan seharusnya ditanggung pemerintah. Pendidikan merupakan hak setiap warganegara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung pada suatu negara.
Paradigma baru dalam bidang pendidikan ini, seperti sebuah gagasan yang mulia tetapi dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisai pendidikan. Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya akan pendidikan. Dampak yang akan langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal.
Maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya akan menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warganegara negeri ini. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Kekhawatiran banyak pihak, UU BHP akan lebih kejam dari pada bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah berlaku sekarang pada UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU dan Unair. BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan perluasan dari status BHMN yang nantinya akan diterapkan pada PT lainnya, bahkan pada pendidikan dasar dan menengah.
Tujuanya adalah untuk memberikan wewenang secara mandiri dalam pengelolaannya. Kampus diberikan kreativitas sebesar-besarnya untuk mencari sumber pendanaannya. Di antara bentuk kreativitas yang dimaksud adalah kreativitas dalam mengembangkan kompetensi kampus sebagai basis riset sehingga dapat menghasilkan banyak paten, serta income generating technology.
Sejak pelaksanaan otonomi kampus pada tahun 1999, di beberapa PT-BHMN terjadi kenaikan biaya pendidikan, bahkan sampai tiga kali lipat. Selanjutnya, beberapa PTN/universitas tersebut menerima mahasiswa baru dengan jalur khusus yang disertai dengan biaya khusus, hingga puluhan juta.
Kalau dilihat secara detail, RUU BHP yang telah disahkan menjadi UU berdasarkan pada UUD 1945, UU Sisdiknas pasal 3, UU Sisdiknas pasal 4 ayat 1, UU Sisdiknas pasal 10 dan 11, dan PP No. 60 Tahun 1999 dan menimbang draft RUU BHP per 1 Desember 2008, masih terdapat beberapa poin penting yang perlu ditinjau ulang.
Diantaranya, reduksi peran pemerintah dalam pendanaan BHP. Pada pasal 41 RUU BHP yang mengatur mengenai pendanaan institusi pendidikan berbentuk BHP, terdapat beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan tersebut, baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi (ayat 4, 6, 7 dan 9). Ketidakjelasan ini berupa proporsi pemerintah dan BHPP yang belum eksplisit ditentukan serta bagaimana BHPP memenuhi sisa biaya di luar tanggung jawab pemerintah. Ketidakjelasan ini merupakan hal yang krusial karena kaitannya dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan keberlangsungan pengelolaan pendidikan itu sendiri.
Otonomisasi kurikulum yang tidak jelas dalam BHP. Pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan RUU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran.
Sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum? Misalnya pada pasal 19 ayat 2 dan 3, bagaimana dampak dari 2/3 pemegang kebijakan justru di luar dari kalangan akademisi yang memahami secara detail dan mendasar mengenai keberjalanan sebuah proses pendidikan?
Superioritas pada organ representasi pemangku kepentingan. BHP menempatkan Organ representasi pemangku kepentingan sebagai organ tertinggi yang memiliki akses dan kewenangan yang penuh dan terdapat berbagai kekurangan. Wewenang Organ representasi pemangku kepentingan dalam mengambil berbagai kebijakan misalnya AD/ART, memberhentikan rektor, hingga control audit (Pasal 22). Kebijakan ini janggal mempertimbangkan adanya dewan audit di bawah organ representasi pemangku kepentingan ini. Bukankah jika memang BHP mengusung prinsip transparansi dan akuntabilitas (pasal 4), seharusnya dewan audit bersifat independen.
Pada pasal 23, yaitu internal BHPP (wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan ) maksimal 1/3 dari organ tertinggi sedangkan 2/3 sisanya terdiri dari pemerintah dan masyarakat yang belum jelas proporsinya. Secara implisit, kontrol pemerintah pun menjadi minimalis.
Pasal 18 ayat 6 : Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi badan hukum pendidikan adalah institusi yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan bukan porsi akademisi yang diperbanyak?
Analog BHP dengan perusahaan. Bentuk BHP memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang diantaranya disebabkan adanya pailit (pasal 57). Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan tak ubahnya dengan perusahaan pada umumnya uaitu ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar.
Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara.
Perlu dicatat bahwa sejauh ini belum dilakukan analisis fisibilitas dan analisis kemampuan dalam pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi objek dari BHP ini.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Uneversitas Bung Hatta Padang, Wartawan Koran Transaksi Jakarta, Reporter www.padangmedia.com dan Wakil Ketua LSM JAMAK (Jaringan Anti Manipulasi dan Anti Korupsi)

Senin, 27 Juli 2009


INSTAL KOMPUTER


  1. Cara 1 :

Kalo ada akses internet bisa browsing di situs2 indonesia kayak www.ilmukomputer.com ato kalo ingin tips2 bisa ke www.oprekpc.com bagian forum dll.

  1. Format harddisk ada beberapa cara. Dan selalu pake software pembantu. Dari dos asli pake disket booting win 98, setelah booting pake disket itu, kmudian ketik fdisk, dan ikuti langkah2nya dari no1 dst. Ato kalo uda ada windows sementara, bisa langsung pake software partition magic. Ato (favorite saya) pake disket utility dari produsen HD kayak seagate disk wizard. Dan terakhir paling mudah, minta penjualnya mempartisi dulu.
  2. Utk install OS, langkah no.1 boleh juga diabaikan. Cara install win/linux prinsipnya sama. Booting ke CD, masukkan installer OS, kalo pake SATA, pencet F6 utk pasang driver sata dari motherboard. Kmudian muncul pemilihan partisi, di sini kita bisa buat & format partisi. Caranya pilih manual & ikuti perintahnya. Setelah pemilihan partisi, format partisi, masukkkan input tanggal, lokasi dll. Lalu mulai kopi. Tunggu 30menit-2jam lebih. Lalu restart kmudian buat user name.Utk linux ada juga tahap pembuatan lilo.Maaf kalo masih belom detail, krn tiap OS beda detailnya.
  3. Install office yg mudah, tinggal next next dst. Tapi kalo mo lengkap, pilih custom install & chek semua pilihan yg ada. Ini menghindari kerepotan nanti kalo office minta cd installernya lagi.
  4. Dulu saya pernah pake spek mirip ini, & pake PSU 380watt merk gak jelas. Selama 1-2 th masih jalan dg baik, tapi sesudah itu mulai sering restart sendiri. Lalu ganti PSU 500watt abal2 juga. Problem solved. Sebaiknya pake PSU yg rada bagusan spt enlight, HEC, thermaltake dll.

Selama komputer masih baru dan belom ada data, kita bisa bebas bereksperimen

dlm install OS & software

  1. Cara 2 :

Komputer lambat,hang,restart berulang- ulang dan banyak lagi penyaklit yg laen...cape' bangt deh pokoknya ngurusinnya klo dah kayak gini.satu - satunya cara paling ampuh hanyalah dengan instalasi. Biar smua penyakitnya pada kabur mendingan di install aj deng dengan cara berikut :

  1. Yang pertama kamu harus punya CD installer windows kalo emang mau pakai windows. Trus backup dulu data-data yang tersimpan di drive C ke D. Restasrt PC trus booting pakai CD instaler tadi. Selanjutnya tinggal bext next aja kok. Kalo ada form isian tinggal diisi aja dengan identitas atau lokasi kamu. Jangan lupa catat CD key yang biasanya tertera di CD, soalnya nanti ditanyakan pas kamu instal.Kalo udah selesai instal driver-driver yang dibutuhkan. Paling gampang masukan saja CD driver bawaan PC kamu. Sekali setup beres otomatis keinstal semua.Lalu tinggal kamu instal apilkasi yang kamu butuhkan misalnya office dll dll. Caranya sama. Masukan saja CD aplikasinya. Kalo autorunnya ga jalan, browse aja trus klik setup.
    Step by step prosesing installing computer :1. Masukin CD/DVD Windows, kalau muncul menu, diclose aja.
  2. Restart komputer
  3. Pas logo motherboard muncul, masuk ke config (biasanya del, atau F2, atau F4, dll tergantung jenis BIOSnya), set first boot ke CD/DVD-ROM. Note: Pada motherboard2 tertentu biasanya ada boot menu yang memungkinkan kita untuk melakukan boot dari hardware tertentu tanpa perlu masuk ke dalam config BIOS yang membingungkan.
  4. Habis itu biasanya ada tulisan, “Press any key to boot from CD.” Tekan tombol sembarang.
  5. Tunggu komputer meload content dari CD. Ikuti instruksi2 yang muncul, misalnya menyetujui EULA, dll.
  6. Habis detecting previous OS version, biasanya ada pilihan repair atau don’t repair. Pilih yang don’t repair.
  7. Habis bakalan muncul harddisk2 yang terhubung ke PC.
  8. Delete partisi2 yang ada.
  9. Buat partisi2 yang baru. Jumlah dan ukuran partisi tergantung keperluan.
  10. Tekan enter pada drive tujuan instalasi Windows dan anda akan disuguhkan sebuat menu formating. Sebaiknya menggunakan NTFS, karena masalah kompatibilitas dan keamanan (sistem partisi NTFS memiliki support terhadap kompresi data yang lebih baik dan encrypt data), dan terlebih lagi (menurut saya) lebih cepat.
  11. Tunggu sampai format dan proses pengcopyan data ke dalam harddisk selesai.
  12. Restart komputer.
  13. Setting komputer untuk boot dari harddisk kembali.
  14. Sampai di sini anda sudah 80 persen dalam proses instalasi Windows.
  15. Ikuti instruksi2 (setting jam, setting bahasa, dll) sampai akhirnya anda diharuskan melakukan restart dan sampai saat ini proses penginstalasian sudah selesai.
  16. Ini hanya tahap permulaan, karena pada akhirnya anda harus direpotkan lagi dengan menginstall driver dan software2 yang bejibun banyaknya


Pastikan anda sudah:

  1. Backup data2 penting, My Documents, music, pic, video, dll.
  2. Backup data2 jadwal, calendar, meeting, appointment, dll.
  3. Backup bookmark website2 favorit.
  4. Backup setting2 software dll.
  5. Menyiapkan CD dan file instalasi driver dan software.

Dan yang paling penting anda sudah menyiapkan CD/DVD Windows.

  1. Cara 3 :

Kalau anda mempunyai komputer dan takut kalau sistem komputer anda dirusak virus atau takut software2 yang ada di program file anda hilang Atau anda tidak mempunyai driver untuk komputer, jangan khawatir karena anda bisa menyimpan images atau backup windows anda beserta semua program yang sudah anda instalkan. anda bisa menyimpannya di Hardist , flashdist, atau di cd. baik itu harddisknya menggunakan OS win ME, 98, 2000 XP , Vista, maupun Linux.Langkah pertama yang kamu lakukan adalah download dulu software Hiren’s Boot CD versi. 9.0 atau versi lainnya sekarang dah sampai versi.9.6 (cari di indowebster.com) :setelah berhasi di download file tersebut kamu burning (karena file yg di download adala file **.iso) ke dalam CD kosong, setelah berhasil maka lakukanlah langkah2 cloning harddisk sebagai berikut :

  1. Masuk keBIOS.
  2. Atur BIOS komputer kamu agar boot awalnya ke CD ROM.
  3. Selanjutnya masukkan CD Hiren’s boot CD yg sdh di burning tadi ke dalam CD room.
  4. Langkah berikutnya muncul pesan : Boot From Hard Drive dan start From CD, kamu pilih aja pesan kedua.
  5. Langkah berikutnya akan muncul menu dari sowfware Hirens boot CD, kamu langsung geserkan kursor saja ke menu Disk Clone Tools, Enter.
  6. Terus masuk lagi sub menu lainnya, geser kursor ke norton Ghost 8.3 (Enter).
  7. Muncul lagi sub menu, kamu pilih saja Ghost (Normal) enter.
  8. tunggu beberapa saat, sampai aplikasi Norton Ghost Aktif.
  9. Klik tombol OK saja, maka program Norto Ghost Aktif,
  10. pada menu pilih Lokal, pilih harddist, terus To images
  11. selanjutnya pilih partisi tempat penyimpanan images nya ( misalnya di partisi D )
  12. terus bikin nama nya ( kasih nama nya GHOST )
  13. langkah selanjutkan klik saja tombol OK.
  14. dan tunggulah beberapa saat sampai proses cloning selsai. ( 5 menit )
  15. Setelah selesai restart komputer nya.

Suatu saat kalau komputer anda bermasalah atau error, atau sistemnya dirusak virus, anda tidak perlu khawatir karena dalam waktu lebih kurang 5 menit komputer anda bisa dikembalikan ke keadaan awal. tanpa virus serta lengkap dengan software2 dan drivernya. cara nya mirip langkah:

  1. masuk ke BIOS.
  2. Atur BIOS komputer kamu agar boot awalnya ke CD rom.
  3. Selanjutnya masukkan CD Hiren’s boot CD yg sdh di burning tadi ke dalam CD room.
  4. Langkah berikutnya muncul pesan : Boot From Hard Drive dan start From CD, kamu pilih aja pesan kedua.
  5. Langkah berikutnya akan muncul menu dari sowfware Hirens boot CD, kamu langsung geserkan kursor saja ke menu Disk Clone Tools, Enter.
  6. Terus masuk lagi sub menu lainnya, geser kursor ke norton Ghost 8.3 (Enter).
  7. Muncul lagi sub menu, kamu pilih saja Ghost (Normal) enter.
  8. tunggu beberapa saat, sampai aplikasi Norton Ghost Aktif.
  9. Klik tombol OK saja, maka program Norto Ghost Aktif,
  10. pada menu pilih Lokal, pilih harddist, terus From images
  11. selanjutnya cari backup atau images yang telah disimpan tadi. partisi tempat penyimpanan images nya ( misalnya di partisi D )
  12. klik atau open images ( namanya Ghost ) yang disimpan Di dirve D atau di Cd atau di Flashdist.
  13. langkah selanjutkan klik saja tombol OK.
  14. dan tunggulah beberapa saat sampai proses cloning selsai. ( 5 menit )
  15. Setelah selesai restart komputer nya.

Selamat komputer anda telah selesai di instal lengkap dengan software2 nya.

selamt mencoba.


From, Mudawar `90.

Tarekat dan Tradisi Keagamaan di Sumatra Bara

By Oman Fathurahman
Sumatra Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kehidupan masyarakatnya tidak dapat dipisahkan dari Islam. Bagi masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, “menjadi orang Minang berarti menjadi Muslim”. Jika ada orang Minang yang tidak memeluk, atau keluar dari, agama Islam misalnya, maka secara sosial mereka akan dikucilkan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, masyarakat Minang berusaha menyesuaikan adat dan tradisi kemasyarakatannya dengan Islam.
Upaya penyesuaian berbagai nilai Islam dengan adat di kalangan masyarakat Minangkabau ini tampaknya telah dimulai sejak orang Minang menerima Islam sebagai agamanya, yakni sejak berdirinya Kerajaan Pagaruyung (Hamka 1984: 138). Persesuaian Islam dengan adat tersebut awalnya terjadi secara bertahap, ketika Islam mulai masuk dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek). Dalam kosa-kata Minang, masuknya Islam dari wilayah rantau ke darek ini digambarkan dalam pepatah: Syarak Mandaki, Adat Manurun.
Pada perkembangan berikutnya, keterikatan masyarakat Minangkabau dengan Islam ini semakin mengakar, khususnya setelah muncul gerakan Padri, dan terjadi kata sepakat atau perjanjian antara tokoh agama dengan tokoh adat di “Bukit Marapalam” pada abad ke-19, dengan munculnya adagium yang sangat populer, yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Mulai saat itu, nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam senantiasa melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Minangkabau.
Dalam hal ini, masyarakat Minangkabau meyakini bahwa adat dengan sendirinya mengandung nilai-nilai hukum alam (sunnatullah), dan karenanya tidak mungkin bertentangan dengan Islam (Naim 2001: 118). Masyarakat Minangkabau juga meyakini bahwa di dalam sistem sosial kemasyarakatan mereka, Islam dan adat telah terintegrasi dengan baik. Hal ini tampak dalam adagium ABS-SBK di atas (Abdullah 1971: 6). Sebagai perwujudan dari adagium ABS-SBK tersebut, muncul pula pepatah-petitih lain yang mengiringinya, seperti: Syarak Mangato, Adat Mamakai; artinya segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi diterapkan melalui adat; atau pepatah lain: Syarak Batalanjang, Adat Basisampiang; artinya, apa yang dikatakan oleh agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksanaannya yang sebaik-baiknya; atau pepatah lain pula: Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim; artinya, adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat.
Harus diakui bahwa hubungan Islam dan adat di Minangkabau memang sangat kompleks, dan, dalam hal-hal tertentu, tidak jarang terjadi konflik dan ketegangan di antara keduanya. Kendati demikian, seperti dikemukakan sejarahwan Taufik Abdullah misalnya, kalau pun terjadi konflik antara Islam di satu sisi dengan adat di sisi lain, hal itu tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketegangan antara dua “pandangan dunia” (world view) yang berbeda, melainkan sebagai satu kesatuan dalam sebuah sistem secara keseluruhan (Abdullah 1966: 23).
Hubungan antara Islam dan adat masyarakat Minangkabau yang sedemikian kental ini telah menarik banyak perhatian sejumlah sarjana, yang mengkajinya dari berbagai perspektif. Schrieke, misalnya, merupakan sarjana angkatan pertama yang menulis tentang fenomena gerakan modernisme Islam di Sumatra Barat. Dalam tulisannya, Schrieke mencoba menggambarkan pergolakan yang terjadi di Sumatra Barat akibat adanya cara pandang generasi baru (kaum muda) terhadap agama, dan akibat adanya “penghakiman” terhadap tradisi dan cara pandang generasi lama (kaum tua) yang telah lama mengakar sebagai kuno, terlarang menurut agama, ketinggalan zaman, dan lain-lain. Selain itu, Schrieke juga mengemukakan telaah terhadap fenomena gerakan Padri, yang untuk pertama kalinya dilihat sebagai suatu pergolakan sosial dan intelektual (Schrieke 1973: 8). Sejauh menyangkut kajian tentang gerakan Padri, tulisan Schrieke ini selalu menjadi rujukan bagi berbagai penelitian berikutnya (Azra 1988: 3). Selain Schrieke, telaah atas gerakan Padri di Sumatra Barat ini juga dilakukan oleh Christine Dobbin (1992), yang melihatnya dari perspektif sosial ekonomi. Di antara tesis Dobbin adalah bahwa munculnya gerakan Padri sesungguhnya bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan (h. 148) serta karena persaingan ekonomi (h. 165).
Penting juga dikemukakan bahwa wacana tentang adat dan Islam di Minangkabau ini umumnya mencakup pembahasan tentang hubungan sistem kekeluargaan berdasarkan adat yang bersifat matrilineal, dengan sistem kekeluargaan Islam yang lebih memperlihatkan sifat patrilineal. Topik ini juga telah menarik perhatian sejumlah sarjana yang “terpesona” dengan sikap masyarakat Minangkabau yang teguh menganut Islam di satu sisi, dan tetap mempertahankan sistem kekeluargaannya yang berdasar adat itu di sisi lain. Kendati lebih menekankan pada peranan perempuan di tengah-tengah sistem matrilineal di Minangkabau, telaah antropologis yang dilakukan Peggy Reeves Sanday (2002), misalnya, juga memperlihatkan kepada kita betapa masyarakat Minangkabau telah memperlihatkan apa yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai “tradisi integrasi” dalam proses islamisasi di dunia Melayu.
Selain itu, satu hal yang juga tidak pernah luput dari perhatian para sarjana berkaitan dengan tradisi keagamaan masyarakat Minangkabau adalah munculnya fenomena Islam tradisionalis (kaum tua) dan Islam modernis (kaum muda). Dalam konteks ini, apa yang disebut sebagai kelompok Islam tradisionalis, atau kaum tua, biasanya merujuk pada mereka yang dalam praktek-praktek keberagamaannya mendasarkan pada berbagai ritual tarekat. Di Sumatra Barat sendiri, tarekat yang paling awal berkembang, dan kemudian sangat mengakar pada sebagian masyarakatnya, adalah tarekat Sya‹‹Œriyyah yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan (1646-1699), salah seorang murid ulama Aceh terkemuka, Syaikh Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693). Untuk sekian lamanya, tarekat Sya‹‹Œriyyah merupakan satu-satunya representasi dari Islam tradisional di Sumatra Barat, sebelum akhirnya muncul tarekat Naqsybandiyyah pada sekitar tahun 1850. Selain Sya‹‹Œriyyah dan Naqsybandiyyah, di Sumatra Barat juga berkembang —kendati tidak terlalu besar— tarekat lainnya, seperti Sammaniyyah.
Di antara corak keberagamaan yang khas dari kalangan Islam tradisionalis adalah kecenderungannya untuk bergabung dengan organisasi tarekat dengan mengembangkan Islam sufistik (tasawuf). Sejauh ini, setidaknya ada tiga jenis tarekat yang berkembang di Sumatra Barat: tarekat Sya‹‹Œriyyah, Naqsybandiyyah dan Sammaniyyah. Berbeda dengan dua jenis tarekat yang disebut pertama, tarekat SammŒniyyah sesungguhnya tidak terlalu berkembang di Sumatra Barat. Tarekat ini hanya berkembang di dua daerah saja, yakni di Padang Bubus Bonjo, Pasaman, dan di daerah 50 Koto Payakumbuh, itu pun telah banyak bercampur dengan tarekat Naqsybandiyyah (Abbas dkk., 1982/1983: 36).
Penting digarisbawahi bahwa jenis tasawuf yang berkembang di Sumatra Barat —kendati dalam beberapa hal memperlihatkan corak dan kecenderungannya yang khas— dapat dianggap sebagai melanjutkan, dan dalam beberapa hal juga lebih menegaskan, apa yang sebelumnya berkembang di Aceh, yakni tasawuf amali yang menekankan perpaduan antara ajaran tasawuf dengan aspek-aspek syariat dalam Islam. Bahkan, —seperti akan tampak dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya— penekanan terhadap tasawuf amali di Sumatra Barat ini cenderung semakin menguat.
Selain ritual tarekat, karakteristik keberagamaan kaum tradisionalis adalah kesetiaannya untuk mengikuti berbagai faham keagamaan yang dikemukakan oleh imam mazhabnya, seperti mazhab SyŒfi’¥ misalnya. Bagi kalangan Islam tradisionalis, apa yang telah ditulis oleh para ulama mazhab tersebut dalam berbagai kitab karangannya merupakan kebenaran yang harus diterima, dan harus dijadikan sebagai pedoman dalam beragama selain al-Quran dan hadis Nabi. Selain itu, dalam konteks Minangkabau ini, kalangan Islam tradisionalis juga dikenal sebagai kelompok yang mengikatkan diri secara ketat dengan kekuasaan adat (Daya 1990: 75).
Adapun yang disebut sebagai kelompok Islam modernis, atau kaum muda, di Sumatra Barat adalah mereka yang dalam berbagai faham keagamaannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran kaum pembaharu di Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla (Daya 1990: 66). Gelombang pemikiran yang bercorak modernis ini mulai muncul di Sumatra Barat pada sekitar awal abad ke-19, terutama ketika pada tahun 1803, tiga Haji terkemuka asal Minangkabau, yakni Haji Miskin, Haji Piyobang, dan Haji Sumanik, kembali dari Makkah dan menyebarkan faham pembaharuan di bidang keagamaan (Dobbin 1992: 155). Gerakan tiga Haji tersebut juga kemudian diikuti oleh generasi ulama Minangkabau berikutnya pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, seperti: Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Abdul Karim Amrullah.
Berbeda dengan faham keagamaan kalangan Islam tradisionalis, para ulama yang terlibat dalam gerakan pembaharuan Islam ini berpandangan bahwa hanya al-Quran dan hadis Nabi yang sahih sajalah yang mempunyai otoritas kebenaran mutlak, dan karenanya dapat dijadikan sebagai pedoman umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek keagamaannya. Mereka juga menganggap bahwa tidak ada ulama, termasuk para ulama mazhab sekali pun, yang luput dari kekeliruan, dan oleh karenanya pandangan keagamaannya tidak dapat diikuti secara mutlak. Apalagi, Tuhan telah menganugerahkan akal kepada setiap manusia untuk dapat berijtihad setiap saat.
Sebagai konsekuensi dari adanya perbedaan faham keagamaan antara kaum modernis dengan kaum tradisionalis inilah, maka pertentangan pun tidak dapat dihindarkan, kendati secara umum, pertentangan tersebut sesungguhnya tidak beranjak dari persoalan keagamaan yang sifatnya fur´’iyyah belaka, yang sejak awal memang telah menjadi sumber perdebatan, di mana pun Islam berkembang.
Dalam konteks Sumatra Barat, ketegangan yang dihadapi oleh kaum Islam tradisionalis sesungguhnya lebih kompleks lagi, karena mereka tidak hanya harus menerima “serangan” dari kaum modernis, melainkan pada saat yang sama juga dihadapkan pada pertentangan antarsesama kelompok Islam tradisionalis sendiri, yakni antara para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah. Tarekat yang disebut terakhir misalnya menuduh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah sebagai sesat (heretic), karena dianggap mengajarkan doktrin martabat tujuh dan waúdat al-wuj´d (kesatuan wuj´d).
Selain itu, perdebatan lain antara para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah adalah berkaitan dengan perbedaan penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Biasanya, para guru tarekat Sya‹‹Œriyyah —dengan berpegang pada prinsip ru’yat al-hilâl (melihat bulan)— menetapkan awal puasa tersebut satu atau dua hari setelah para guru tarekat Naqsybandiyyah menetapkannya (Schrieke 1973: 26). Dan, sejak awal munculnya hingga saat ini, perdebatan tentang penetapan awal bulan ramadlan tersebut masih juga terus berlangsung, terutama antara ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan, dengan ulama tarekat Naqsybandiyyah di Cangking.
Demikianlah, pertentangan keagamaan, baik antara penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah, maupun antara para penganut tarekat dengan kalangan modernis di Sumatra Barat, akhirnya telah menciptakan sebuah krisis sosial kemasyarakatan yang berkepanjangan di alam Minangkabau (Abdullah 1971: 8).
4.2. Tarekat Sya‹‹Œriyyah dan Tradisi Penulisan
Naskah-naskah Keagamaan di Sumatra Barat
Seperti telah diisyaratkan pada bab sebelumnya, tradisi penulisan, penyalinan, dan persebaran naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia sangat terkait dengan proses islamisasi yang terjadi. Umumnya, naskah-naskah tersebut ditulis untuk kepentingan transmisi pengetahuan keislaman yang terjadi di berbagai institusi keagamaan, seperti pesantren, surau, dayah, rangkang, dan lain-lain.
Demikianlah, di Sumatra Barat, tradisi penulisan dan kemudian persebaran naskah-naskah keagamaan ini dapat dipastikan terjadi secara terus menerus, seiring dengan terus berlangsungnya perkembangan dan persebaran Islam. Dan, karena Islam yang berkembang sejak awal bercorak tasawuf, maka naskah-naskah keagamaan yang muncul pun kebanyakan mengandung pembahasan tentang tasawuf, baik yang diamalkan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah maupun Naqsybandiyyah.
Seperti juga telah dikemukakan bahwa dalam konteks Sumatra Barat, perkembangan dan persebaran Islam yang bercorak tarekat ini terjadi secara sistematis melalui surau-surau. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika sejauh menyangkut telaah atas berbagai hal yang berkaitan dengan Islam periode awal di Sumatra Barat ini, peran surau menjadi sangat penting (Azra 1988 dan 2003), termasuk ketika masuk pada pembahasan tentang tradisi penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaannya. Dalam hal ini, surau di Sumatra Barat dapat dianggap sebagai semacam “skriptorium” naskah, yakni tempat di mana aktivitas penulisan dan penyalinan naskah-naskah keagamaan berlangsung.
Pada dasarnya, pola persebaran naskah-naskah keagamaan melalui surau-surau di Sumatra Barat ini pada gilirannya sangat mempermudah upaya penelusuran keberadaan naskah-naskah tersebut, karena surau sendiri sampai kini masih banyak dijumpai, kendati kondisi dan fungsinya tidak seperti pada awal perkembangannya sebagai center of excellence keilmuan Islam. Akan tetapi, dalam kenyataannya, upaya untuk mengetahui keberadaan naskah-naskah keagamaan tersebut, dan apalagi membaca serta memanfaatkannya, seringkali menemui hambatan, baik karena naskah-naskahnya yang dikeramatkan sehingga tidak dapat diakses oleh sembarang orang, maupun karena naskah-naskah tersebut telah rusak dimakan usia.
Penting juga dikemukakan bahwa, berbeda dengan apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan di Sumatra Barat ini tampaknya masih terus berlangsung hingga kini, kendati dengan intensitas yang berbeda dengan kondisi ketika mesin cetak belum berkembang. Sejumlah naskah Sya‹‹Œriyyah periode akhir abad ke-20 yang menjadi sumber utama penelitian ini merupakan salah satu bukti betapa tradisi tersebut masih terus berlangsung seiring dengan masih mengakar dan terus berkembangnya Islam tarekat, khususnya tarekat Sya‹‹Œriyyah dan Naqsybandiyyah di wilayah ini.
Mempertimbangkan persebaran tarekat-tarekat di Sumatra Barat yang demikian intensif, serta memperhatikan fungsi naskah-naskah keagamaan sebagai media untuk mentransmisikan berbagai ajaran tarekat tersebut, dan juga berdasarkan pengalaman penulis sendiri ketika melakukan penelitian lapangan, tidak berlebihan jika diasumsikan bahwa naskah-naskah keagamaan di Sumatra Barat ini terdapat dalam jumlah besar.
Tentu saja, upaya identifikasi dan inventarisasi atas naskah-naskah yang berkaitan dengan masyarakat Minangkabau ini bukan tidak pernah dilakukan, terutama berkaitan dengan naskah-naskah Minangkabau yang berada di luar negeri, khususnya Belanda. Sejumlah katalog juga pernah ditulis, kendati tidak dikhususkan pada naskah-naskah keagamaan saja, melainkan juga naskah-naskah lainnya, seperti sastra dan lain-lain. van Ronkel (1921) misalnya, mencatat tidak kurang dari 257 naskah dengan 87 judul tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Chambert-Loir & Fathurahman 1999: 173). Kemudian, yang paling mutakhir, Teuku Iskandar (1999), juga mencantumkan kembali naskah-naskah Minangkabau yang pernah dicatat oleh van Ronkel di atas dengan beberapa tambahan koleksi terbaru.
Adapun mengenai naskah-naskah yang berada di Sumatra Barat sendiri, sejauh ini telah dicatat oleh beberapa sarjana, kendati baru disebut sambil lalu saja dalam tulisan pendek. Ali Hj. Wan Mamat (1995) misalnya, ketika mendokumentasikan naskah-naskah Melayu di Selatan Sumatra dan Jawa Barat, menyebut adanya sejumlah naskah Melayu di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau, sementara Wibisono dkk. (1989), ketika melaporkan hasil penelitian arkeologis atas situs-situs masa silam di Sumatra Barat, juga menyinggung adanya puluhan naskah keagamaan yang tersimpan, baik secara perorangan maupun di mesjid.
Informasi paling mutakhir, khususnya berkaitan dengan naskah-naskah keagamaan di Sumatra Barat ini terdapat —kendati belum diterbitkan dalam bentuk katalog— dalam dua laporan penelitian, yang masing-masing dilakukan oleh para peneliti dari IAIN Imam Bonjol Padang (Ramli dkk. 1997) dan para peneliti dari Unand Padang (Yusuf dkk. 2001). Dua hasil penelitian ini memberikan informasi tambahan tentang keberadaan naskah-naskah keagamaan yang masih tersimpan di tangan masyarakat di Sumatra Barat.
Berdasarkan laporan Ramli dkk. tersebut, di antara daerah-daerah yang menjadi basis keberadaan naskah-naskah keagamaan —kendati belum semua naskahnya dapat diidentifikasi— adalah Kampung Lb. Gunung Gadut 50 Kota, Taram 50 Kota, Batipuh Padang Panjang, Bingkudu IV Angkat Canduang Agam, Tiakar Payakumbuh, Kuranji Padang, Pariangan Batusangkar, Pauh IX Padang, dan Kurai Tigo Baleh Bukittinggi.
Adapun Yusuf dkk. —yang dalam penelitiannya lebih fokus pada keberadaan naskah-naskah keagamaan di sejumlah surau— menambahkan beberapa lokasi lain yang menjadi basis keberadaan naskah-naskah keagamaan, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, di Sumatra Barat, seperti surau Bintungan Tinggi nan Sabaris Pariaman, surau Tigo Jorong desa Kudu Ganting Barat kec. V Koto Kampung Dalam Pariaman, surau Tandikat Pariaman, surau Padang Japang Kanagarian VII Koto Tagalo kec. Guguak Limapuluh Koto, surau Balingka kec. IV Koto Agam, serta surau Batang Kabung dan surau Paseban di Koto Tangah Padang. Dalam laporan Yusuf dkk. ini juga disertakan catatan mengenai adanya sejumlah kitab edisi cetak yang berkaitan dengan Islam di Sumatra Barat.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa di samping tempat-tempat yang telah disebutkan dalam dua laporan penelitian di atas, masih banyak lagi lokasi di Sumatra Barat yang memiliki khazanah naskah-naskah keagamaan. Tentu saja diperlukan penelitian tersendiri untuk mengetahuinya.